Saturday, November 29, 2008

Di suatu siang bolong, terjadi sebuah percakapan maya:
“Oi, hari ni jam 4 da dialekta loh di slasar Hotspot FTI, temanya Memaknai Falsafah Pendidikan. Dateng yak!” ajak saya menggebu-gebu pada seorang teman saya. Eh, dikira dapet satu orang pendukung, ternyata dijawab:”Ga mau gw, males ah” belum selesai, dia melanjutkan “Buat apa, dari dulu pendidikan masih kayak gini, ga berubah.” Segera saya balas “Tapi ini penting untuk pewacanaan ke massa kampus, diawali oleh wacana untuk perubahan”. Alih-alih menyetujui, teman saya membalas “Wacana lagi, diawali wacana, dan diakhiri dengan wacana. Wacana sampe mampus!!. Wuakakaka. Seneng gw bikin orang kesel..”

Wew kk wew.. otak saya kembali bergetar waktu itu, sebuah pertanyaan klasik yang sudah saya dengar sejak awal berkecimpung dalam dunia tarik suara, menyuarakan Kebenaran maksudnya, hoho.. Pertanyaan serupa pernah saya dapatkan dari teman2 saya di pergerakan lain yang kecenderungannya langsung turun ke jalan, demo, ga banyak wacana, langsung prak prak prak.. uhm, sayap-sayap pertanyaan beterbangan di otak saya, salah satunya mencoba keluar dari dinding otak:”Gimana sih posisi sebuah wacana dalam konteks perubahan sosial?” “wacana seperti apa yang bisa mengantarkan pada sebuah perubahan sosial”, dan mungkin yang lebih penting adalah “Kenapa mesti terjadi perubahan, dan perubahan seperti yang diharapkan dengan pewacanaan tadi?”..

Ya saya sih bersyukur banget ada temen yang ngajuin pertanyaan di paragraf 1, bikin saya yang lagi males2nya baca buku, mau lagi baca2 buku berat. ;)). Jadi inget iklan susu “Perubahan itu tak datang sendiri, kita yang memulainya. Berubahlah untuk maju, blablabla,” selanjutnya saya lupa, heu2. Cukup intermezzonyah, lanjoot dolo gan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, hal pertama yang mesti diluruskan adalah, siapa objek perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, konteks perubahan yang dimaksud adalah manusia. Lebih jauh lagi kita akan berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat. Karna konteks perubahan disini adalah manusia, maka mesti diketahui terlebih dahulu hakikat perbuatan manusia. Hal ini terkait apa yang dilakukan oleh manusia. Untuk menjawab ini, saya dapet referensi dari buku “The Rule of Life in Islam” ditulis oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani, di paragraf paling awal buku tersebut bliau menulis “Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungn ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan, dan sesudah kehidupan. Agar manusia mampu bangkit harus ad perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi terhadap segala sesuatu. .. Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah persepsinya terlebih dahulu..”

Dari sini, terkait objek perubahan manusia, maka seperti yang telah disebutkan di buku tersebut, untuk merubah perbuatan manusia, harus diawali dengan merubah persepsi manusia tersebut. Perbuatan seseorang yang mencintai sesuatu, tentu berbeda terhadap apa yang dia benci. Saya pernah diberikan contoh, ada seorang pemabuk, lantas kita larang dia untuk berhenti dari aktivitas dia minum minuman keras. Apa yang kita lakukan? Klo dulu saudara jauh saya pernah berantem ma orang mabok, supaya dia berhenti mabok. Apa yang terjadi sodara2? Bonyok sodara saya!! Haha, lagian orang ga waras dihadepin pake cara ga ‘waras’. Maka cara yang dilakukan sejatinya adalah merubah paradigma si orang mabok tentang minuman keras itu sendiri. Bahwasanya minuman keras itu telah diharamkan dalam Islam, bahwa setiap perbuatan keharaman akan mengantarkan pada azab dari sisi-Nya yang sangat pedih. Tentu perubahan ini tidak terjadi begitu saja dalam waktu sekejap, tergantung keberterimaan orang tersebut, dan kekonsistenan orang yang memberi tahu, selebihnya tentu hidayah-Nya lah yang menentukan.

Lanjoot kk.. akan tetapi akankah manusia itu hidup sendiri? Apakah manusia tidak melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Klo di fisika, kita lebih mudah untuk menentukan gerak sebuah partikel, lebih sederhana gituh. Tapi ketika berbicara tentang partikel jamak, kita bicara tentang interaksi partikel dengan partikel lain, bahwa gerak satu partikel dipengaruhi oleh interaksinya dengan partikel lain, dari sini kita mengenal gerak sistem partikel, yang lebih kompleks. Hehe, saya tidak akan berbicara banyak soal fisika, karna ya yu know laa.. huuff, kontemplasi dolo kk.. [hening…]

Berbicara tentang interaksi manusia, kita mengenal sebuah sistem interaksi manusia, yang dikenal masyarakat. kenapa perlu membahas masyarakat? karna seperti halnya pada partikel, perbuatan manusia bisa terbentuk oleh lingkungannya, dalam hal ini masyarakat. Maka ketika kita berbicara perubahan pada banyak orang, kita mesti berbicara tentang masyarakat, apa yang terdapat dalam suatu masyarakat, sehingga kita tahu, ketika kita akan mengadakan perubahan, apa yang mestinya diubah. Untuk itu saya cari referensi lainnya, dan saya temukan pembahasan yang cukup komprehensif di buku “Existence of Thinking” a.k.a “Hakikat Berpikir” masih dikarang oleh Syekh Taqiyuddin an nabhani, kurang lebih dalam buku tersebut menyebutkan bahwa masyarakat terdiri dari 4 unsur: individu manusianya, pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan ditengah masyarakat tersebut. Unsur-unsur tersebut berkaitan dengan keberterimaan masyarakat terhadap segala sesuatu yang ada, atau masuk ke dalam masyarakat tersebut. Misal bagaimana sikap masyarakat sepasang muda-mudi (muda mudi?hehehe)--anggap mereka bukan kakak-adik --yang hidup dalam satu rumah, tapi belum menikah. Pemahaman masyarakat di kota dan di desa mungkin berbeda (tapi hal ini bukan karna pengaruh geofisis/posisi kota ato desa), mungkin lagi ngekos bareng, teman dekat, ato apalah. Tapi kecenderungan kuat adalah pasangan tersebut adalah pasangan mesum. Wew kk wew.. Nah, gimana sikap masyarakat terhadap keberadaan pasangan mesum itu tergantung pada pemikiran dan perasaan di tengah masyarakat itu sendiri, apakah mereka suka perbuatan itu ada di masyarakat mereka, ato kah mereka membenci hal tersebut. Hal ini berimplikasi pada aturan apa yang mesti diberikan terhadap perbuatan tersebut. Dalam konteks kekinian, misalkan kenaikan BBM, adakah masyarakat menolak atau menerima kebijakan pemerintah tersebut, itu tergantung pada pemahaman masyarakat tersebut terhadap kenaikan BBM, bisa menerima, bisa juga menolak, walaupun pada faktanya kebijakan tersebut membuat hidup mereka lebih sulit. untuk merubah sikap masyarakat yang tadinya menerima begitu saja kebijakan yang sewenang-wenang dari penguasa, maka tidak ada jalan lain kecuali merubah persepsi masyarakat mengenai kebijakan kenaikan BBM tersebut. Apakah kebijakan tersebut mesti diterima, ataukah ditolak..

Posisi wacana dalam perubahan sosial
“Kebenaran adalah kesalahan yang dipropagandakan,” (Adolf Hitler)

Dari penjelasan sebelumnya, pembahasan mengenai masyarakat semestinya memberikan kita gambaran mengenai siapa objek perubahan dan perubahan seperti apa yang mesti dilakukan.

Jreng-jreng, sekarang bagian penting untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Bagaimanakah posisi wacana dalam sebuah perubahan sosial? Sekedar mereview, dari tulisan sebelumnya, dijelaskan bahwa untuk merubah manusia, pertama yang harus dilakukan adalah dengan merubah ‘cara’ berpikir mereka. Sedangkan untuk merubah masyarakat, adalah dengan merubah unsur didalam masyarakat, yakni dengan merubah pemikiran-perasaan-dan aturan yang ada di tengah masyarakat. Disini, wacana itu sendiri adalah bagian dari sebuah proses untuk menanamkan standar baru persepsi yang ada di masyarakat, yang bertujuan untuk mengganti pemikiran-perasaan-dan aturan lama dengan pemikiran-perasaan-dan aturan sesuai standar baru tersebut. Teman saya menyebut wacana sebagai sebuah promosi nilai-nilai baru yang akan membentuk pandangan masyarakat. medianya ya bisa berbagai macam, komunikasi face to face, buletin, media massa, dll.

Sudah cukup terjawabkah pertanyaan/pernyataan-mu kawan? Saya yakin belum, karna itu saya lanjutkan pembahasan. Heu2.. seberapa kuatkah pengaruh wacana dalam suatu perubahan sosial? Toh orang yang berwacana cuma ngomong doang, blablabla, gimana bisa menimbulkan perubahan, sampe timbul pernyataan “..diawali wacana, dan diakhiri wacana. Wacana sampe mampus!!” seperti di awal paragraf. Disini perlu dibedakan antara posisi wacana terhadap perubahan itu sendiri, dan wacana seperti apa yang bisa mengantarkan pada perubahan, jangan-jangan, kenapa selama ini wacana yang ada tetap jadi wacana karna dalam pewacanaan itu sendiri masih pada tataran nilai-nilai umum yang multi penafsiran, atau bahkan sulit dimengerti, atau tidak ada implementasi yang sinkron dengan yang diwacanakan.

Untuk memahami kekuatan wacana, bolehlah kita ambil bagaimana perjuangan Nelson Mandela di Afrika Selatan ato Gandhi di India. Ato lebih jauh lagi, bagaimana Rasulullah SAW bisa merubah taraf berpikir masyarakat arab jahiliyah1) menjadi sebuah masyarakat Islam yang dari sana peradaban Islam dapat membawa manusia ke puncak kejayaan peradaban ke seluruh dunia. Kita lihat bagaimana Mandela merubah paradigma masyarakat afrika selatan bahwa tidak semestinya hak manusia dibedakan atas kulit atau ras mereka. apa yang dilakukan? Mandela bahkan tidak mengangkat senjata, beliau bahkan menghabiskan 27 tahun di dalam penjara karna dia berusaha merubah persepsi masyarakat. apa yang terjadi? Faktanya, tidak butuh lebih dari 100 tahun, Mandela berhasil menghapuskan politik apartheid yang telah bertahan selama ratusan tahun. Begitu pula Gandhi, dengan ajaran tanpa kekerasannya berhasil membebaskan masyarakat India dari penjajahan Inggris. Yoo!! Inilah kekuatan sebuah wacana!

Sedikit menambahkan, terjadinya perubahan di dalam masyarakat, bukan berarti setiap individu-individu yang ada di masyarakat mesti diubah persepsinya satu persatu. Kenyataannya, pada setiap proses perubahan sosial, terjadi bahkan ketika tidak semua individu masyarakat punya persepsi sama. mungkin ada pro kontra, tapi yang terpenting disini adalah ketika wacana tersebut telah menjadi pandangan umum masyarakat. Dalam masyarakat sendiri, tidak semua individu peduli dengan perubahan. Kebanyakan malah cenderung ikut2an. Maka sebenarnya representasi masyarakat terdapat pada ‘kepala suku’ atau tokoh masyarakat yang ada di tengah masyarakat, yakni tempat orang2 menaruh kepercayaan. Si orang ini percayanya gimana, masyarakat juga bakal ikut orang tersebut. Ini juga bagian fitrah manusia yang cenderung senang berkelompok (kebutuhan akan keberadaan orang lain). Dengan demikian, sebenarnya perubahan sosial bisa terjadi ketika kita berhasil merubah persepsi dari tokoh masyarakat yang ada. Hingga akhirnya mereka menyerahkan kepercayaannya terhadap yang mewacanakan, sehingga wacana tersebut bisa diimplementasikan dengan diberlakukannya aturan-aturan yang sesuai.

Mendekati akhir tulisan, saya ingin menjawab pertanyaan terakhir mengenai sampai kapan sebuah wacana akan terus digulirkan. Pertama, diluruskan kembali tentang perubahan seperti apa yang mesti dilakukan, apakah sebuah perubahan yang sifatnya parsial, ataukah komprehensif/sistemik? Berarti kan kita mesti mengetahui permasalahan yang ada di masyarakat saat ini, apakah masalahnya parsial ato permasalahan sistemik. Ambil salah satu, masalah pendidikan, apakah masalahnya keterbatasan dana, sarana prasana semata, rendahnya kualitas pendidikan, tidak optimalnya peran guru, masalah gizi, kecenderungan anak untuk belajar rendah saja kah? Benar, masalah2 tersebut memang ada, tapi adakah masalah2 tersebut adalah masalah yang berdiri sendiri? Pada kenyataannya, kita dapat menarik masalah pendidikan itu saling terkait, dimulai dengan paradigma falsafah pendidikan, metode (strategis dan teknis) pendidikan—termasuk didalamnya kebijakan pembiayaan--, hingga bagaimana saat ini pendidikan telah dijadikan komoditas2) yang berarti bisa diperjual belikan, dan ‘pengusaha’nya bisa saling berkompetisi mencetak ‘produk2’ yang siap dilempar ke pabrik2 untuk menjadi sekrup2 kapitalis.. hoho.. jadi inget tulisan miss sekrup. Bisa kita tarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan adalah masalah sistemik, yang berarti membutuhkan solusi sistemik pula, yang membutuhkan solusi bukan sekedar pendirian Rumah Pintar, atau penetapan anggaran 20%. nah, apakah pembahasan masalah pendidikan saat ini telah sampai pada tataran solusi sistemik tersebut atau tidak.

Disinilah parameter keberhasilan wacana terletak pada, apakah wacana tersebut telah menjadi pandangan umum ditengah masyarakat atau tidak. Jika belum seperti itu, wajar saja wacana yang ada sampai sekarang akan tetap sebatas wacana, dan berarti wacana ini masih perlu terus digulirkan. Logikanya, misalkan di kampus ini ada 5000 mahasiswa, berapa persen kah yang telah memahami wacana Liberalisasi pendidikan, atau Sistem Pendidikan Ideal. Berapa persen kah yang aktif menyebarkan wacana tersebut? misalkan butuh 7%-an berarti perlu 350 orang yang aktif menyebarkan wacana ini. Sekarang kan baru segelintir orang sahaja, bagaimana perubahan bisa dilakukan. ini kah sebuah proyek besar yang membutuhkan tenaga pikiran, dan waktu yang tidak sedikit. Susah memang di tengah tuntutan kuliah dan godaan2 yang ada, tapi perubahan ini PASTI terjadi, dengan adanya individu ikhlas dan pemikiran yang jernih. Hingga akhirnya ketika wacana tersebut menjadi pandangan umum masyarakat, dan masyarakat menaruh kepercayaan, dan suatu saat wacana tersebut diterapkan dalam aturan sistemik. Insyaallah kita bisa! Moga2 tulisan panjang ini bisa menjawab, kritikan dan masukannya tetap ditunggu buwat orang2 ganteng n geulis, heuheuheu..
Wallahu alam bishshowab..

Sikit coret2an :
1) Jahiliyah bukan berarti masyarakatnya tidak memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi perlakuan masyarakat terhadap masyakat lainnya diluar batas-batas kehewanan.
2) Baca GATS (Global Aggreement on Trade and Service), sebuah kesepakatan antara negara2 WTO mengenai komoditas2 yang perlu diperjual belikan.