Takdir…
Di sebuah situs yang kelam, teman saya menulis
“Apakah takdir itu buruk…”
Uhuk… ada serangga masuk ke idung… iseng banget tuh serangga, masa di tengah luasnya alam semesta inih, mau2nya tuh serangga numplek di salah satu lubang persembunyian yang disakralkan.. ih serangga, lo jorok abis!!!! Serius ah… Takdir… keknya pernah denger.. nama pelawak? Nama makanan? Nama warung soto deket jembatan pasupati ?... Arghh!!! Jadi yang mana? Prasaan warung soto yang deket jembatan pasupati tuh ga buruk2 amat, apa temen saya dendem yah ma tukang warungnya, sehingga dia mencap buruk warung soto sang pemilik.. Argh!!! Serius lah ko!!!
Iyah2.. jadi gini… Dalam bahasa indonesia, takdir terdiri dari 6 abjad, dalam bahasa inggris, takdir divariabelkan sebagai destiny, yang memiliki 7 abjad, sedangkan dalam bahasa sunda, takdir diserap dari bahasa arab Dzuriyat, yang kemudian lebih banyak dikatakan duriyat, yang terdiri dari 7 abjad…
Sudah mendapat pencerahan? Baik terimakasih, mari kita tinggalkan tempat ini… Bletak… amppuuuuunnn!! Iyah2… saya coba menerangkan apa yang saudara/saudari pertanyakan dari lubuk hati sodara/I, namun disini saya hanya menerangkan sesuai yang saya pahami dan saya dapatkan dari pengalaman saya setelah bertapa selama 20 tahun, dengan tetap makan secara normal, tidur yang cukup, dan tambahan bumbu2 kehidupan lainnya, tetap tidak saya tanggalkan… [apa sih niiii… K)
Hmmm.. [mulai serius]… sebelumnya, saya kutip beberapa penggalan kalimat yang menurut saya paling brasaaa….[Kok tiba2 jadi inget ujian hari jum’at…nunggu wangsit dulu ah…].. “ Kenapa kemiskinan harus dihapuskan? Kalau semua orang kaya, ntar sapa yang bikin rumah, bersihin sampah, bantuin angkat barang-barang berat, dll? Kenapa korupsi harus diberantas? Klo ga ada dimana kerjaan polisi,hakim, pengacara? Kenapa kebodohan mesti diberangus?Klo semua orang pinter, buat apa ada guru, sekolah? Siapa yang ngerjain tugas orang-orang bodoh?...”
Sekilas bener juga.. tapi benarkah kebenaran itu bisa diklaim sebagai kebenaran jika kita belum memberikan pembenaran yang kebenarannya telah dibuktikan kebenarannya (nguing…nguing..)… okeh, sekilas ajah pendapat tentang takdir yang berkembang di masa lalu. Jadi, pembahasan mengenai takdir, mungkin sudah berlangsung sejak era pemikir2 yunani, tapi klo yang saya dapetin, pandangan tentang takdir mulai berkembang di era2 kejayaan peradaban Islam, yang dimulai sejak abad 6 M hinnga abad 19-an. Dikisahkan, peradaban Islam telah merentang dimulai dari sebuah negeri tandus bergurun bernama dataran arab, kemudian menyebar hingga kawasan subtropik utara, daerah selatan, afrika utara hingga menyentuh kaki2 afrika, serta menyentuh dataran orang2 bermata kurang lebar ,bernama asia. Peradaban tersebut berhasil merengkuh jutaan jiwa manusia dalam suatu sistem pemerintahan yang luar biasa, dan belum pernah bisa diterapkan saat kerajaan yunani dan romawi berkuasa, atau sejak sistem pemerintahan yang diperkenalkan voltaire dan pemikir2 era renaissance.. dari peradaban tsb, terjadi kemajuan di berbagai bidang.
Nah sebagai konsekuensi logis bertambahnya wilayah kekuasaan, maka masuk juga pemahaman2 dan kebudayaan setempat, terutama filsafat yunani dan romawi.. pemikiran2 ituh masuk dalam pemikiran para pemikir islam, sehingga lahirlah yang namanya filsafat islam (di salman waktu dulu ada kajian tentang filsafat islam loh, tapi saya ga ikut…:p).. singkat kata, mereka pun mulai mempertanyakan tentang “apakah Tuhan memaksa manusia melakukan segala sesuatu? Apa manusia hanya mainan/robot Tuhan aja? Apa seseorang menjadi penjahat/ustadz itu karna Tuhan memang telah menentukan mereka apakah menjadi penjahat atau ustadz?” Pertanyaan selanjutnya, yang sering dikaitkan dengan keyakinan2 dalam Islam… “Tuhan itu maha kuasa atas segala sesuatu, jadi bukankah wajar aja klo Tuhan (dengan kuasanya) menentukan seseorang jahat/baik? Bukankah Tuhan maha tahu segala sesuatu, tahu apakah seseorang masuk neraka atau surga, lantas kita hanya menjadi mainannya saja?” Atau.. “Bukankah segala sesuatunya, kehidupan manusia, alam semesta dan isinya telah ditentukan dalam Kitab Lauhul Mahfudz, bukannya itu berarti Tuhan telah menetapkan segala sesuatunya, tanpa ada pilihan bagi manusia untuk memilih…?”
...[eh, temen yang pernah nyanya tentang takdir!! Pertanyaaannya mirip2 kek gituh ga?]
Dalam dunia para pemikir Islam akhirnya berkembang 3 aliran utama yang memiliki pandangan berbeda tentang takdir: aliran jabariyah yang menganggap bahwa manusia bebas mengerjakan sesuatu atau secara kasarnya, manusia lah yang menciptakan perbuatan ituh, dan dari perbuatan itu manusia diminta pertanggungjawabannya, trus ada alirah qodariyah, yang menganggap bahwa manusia ga lebih dari robot, ga punya pilihan selain melakukan apa yang ditetapkan Tuhan, nah satu lagih, ada aliran Ahlussunnah waljamaah yang cuba menengahi, mereka menganggap bahwa manusia bisa melakukan apa yang diinginkan, saat manusia ingin melakukan suatu perbuatan, Allah menciptakan perbuatan tersebut, sehingga perbuatan tersebut terjadi, dari sana manusia diminta pertanggung jawabannya.. Sedang di masa Rasulullah sampe Tabiin/tabiat nya, pertanyaan tentang takdir tidak pernah dikemukakan, karena mereka telah memahami apa yang disebut takdir tsb, dan klopun ada, Rasulullah masih ada, jadi pertanyaan bisa langsung dialamatkan kpd beliau… trus aliran mana yang bener…? Hmmm.. may be no.. may be no…. yang pasti kita mesti menganalisis (cieeh..) akar masalahnya dulu, biar ga nyasar…
Hmmm… langsung ajah, biar ga muter-muter, klo saya pikir sih akar masalah takdir sendiri ga terletak pada : apakah manusia dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk ataukah diberi kebebasan memilih?
Saya lebih setuju dengan pendapat yang menggolongkan kejadian yang menimpa manusia menjadi 2 area: pertama, area yang terjadi pada manusia dan manusia tidak memiliki kekuasaan sedikitpun untuk menolak/mendatangkannya… contohnya nih, hukum fisika. Hoh? ada apa dengan hukum fisika? Yup, sifat
Sedangkan di area yang kedua, yaitu area dimana manusia diberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu, hal ini berkaitan dengan fungsi akal pada manusia. Dengan akalnya, manusia bebas memilih makanan apa yang akan dimakan, entah dia mo makan keju, nasi, atau batu sekalipun. Begitupun saat manusia berhadapan dengan pemenuhan kebutuhan biologisnya, akalnya dihadapkan pada pilihan apakah dia akan memenuhinya dengan cara2 yang telah digariskan oleh Sang Pencipta, ataukah dengan mengunjungi lokalisasi pelacuran yang keberadaannya bukan lagi sesuatu yang tabu. dengan akalnya manusia bisa menjadi seorang dosen, menjadi teknisi komputer, menjadi ahli jaringan, menjadi mahasiswa program studi Fisika, jadi presiden. Pun dengan akalnya, manusia bisa menjadi makhluk yang menakutkan: jadi perampok, pembunuh, tukang jambret, deelel… hmm… karena pada area ini, manusia bisa melakukan apa yang diinginkannya sesuai akalnya, maka manusia dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia lakukan. Jika perbuatan yang dilakukan sesuai dengan ajaran-Nya, maka diberikan kebaikan yang setimpal dengan perbuatan baik tsb, begitu juga sebaliknya.
Dalam perkara kerusakan lingkungan/alam/manusia, itu bisa berlaku area kedua2nya. Di manusia, misalkan knapa terjadi kemiskinan, adakah ini dikarenakan ketentuan Allah, bahwa kemiskinan harus selalu ada untuk menyertai kekayaan? Kemiskinan bisa jadi berada di dalam area yang tidak dikuasai manusia, manakala itu memang ‘sengaja’ ditentukan Allah bagi makhluknya, entah untuk menguji keimanan hambanya, atau untuk memberikan pelajaran bagi kaum yang tersesat, atau azab bagi kaum yang tidak mau mendengarkan ajaran-Nya. Contohnya, kemiskinan yang menimpa Nabi Ayyub, dahulu beliau adalah seorang yang kaya-raya, namun tetap bisa menjadi salah satu hamba-Nya yang terbaik. Kemudian allah menurunkan ujian bagi Nabi Ayyub lewat dicabutkan kekayaan, anak, serta diberikan penyakit2 untuk menguji keimanan beliau. Tapi kemiskinan bisa juga terjadi dalam area yang dikuasai manusia. Ini manakala kemiskinan adalah suatu produk yang dihasilkan dari kebijakan2 struktural sebagai dampak diberlakukannya sistem yang tidak dapat menjamin keberlangsungan hidup manusia. Kemiskinan yang terjadi karena ketidakmerataan distribusi kekayaan dan pekerjaan yang menumpuk di
Contoh lainnya, ketika terjadi banjir rob yang menggenang bagian utara
Takdir itu ga ada hubungannya dengan kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Maksudnya, jika Allah dengan kehendaknya mampu menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, begitupun sebaliknya. Mampu berkuasa menjadikan manusia baik jadi perampok, atau sebaliknya. Tapi pembahasan takdir bukan disana. Begitu juga dengan KemahaTahuan Allah atas segala sesuatu, dimana kasusnya Allah SWT tahu apa yang telah dilakukan manusia pada waktu lalu, dan tahu pula apa yang akan dilakukan manusia di masa yang akan datang, juga apakah manusia masuk neraka atau surga. Itu pun diluar pembahasan takdir, karena pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu. Juga Lauhul Mahfudz, suatu ‘catatan’ yang berisi hingga jatuhan sehelai daun di bumi pun, berada di luar pembahasan takdir, karna Lauhul Mahfudz sendiri merupakan perlambang betapa maha Luasnya Allah dalam segala sesuatu..
Hummm… final konklusien, takdir adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia, mungkin bagian dari hmm apa ituh namanya, oiya rahasia kehidupan, dengan menyerahkan baik buruknya takdir itu hanya kepada Allah SWT saja yang Maha Mengetahui yang terbaik dan yang buruk bagi manusia. Disana mungkin berlaku apa yang temen saya bilang, kadang ketidaktahuan itu lebih baik.
Yup2, terjawabkah sudah kawanku yang menanyakan perihal takdir? Masih adakah yang mengganjal di hatimu yang terharu biru itu? Halah…
Oiya, tapi ada satu mitos dalam dunia ilmu pengetahuan: semakin seorang ilmuwan dekat dengan kebenaran, maka semakin besar pula bunga2 pertanyaan yang akan bermekaran. Gitukah kawanku?
Hmmm, seperti pendapat manusia lainya, mungkin ajah ada kesalahan dalam penuturan kata, ketidakjelasan makna, ataupun kesalahan pemikiran? Ndapapah, saya masih yakin dengan standar kebenaran yang saya pahamièsesuai dengan akal, sesuai dengan fitrah manusia, dan menentramkan hati. Klo pun ada standar kebenaran lain, bolehlah kita beradu… gimana?
Argh!! Knapa sih klo saya nulis itu selalu kepanjangan, apa terlalu banyak remeh temehnya yah? Padahal dah berusaha pengen diirit2, klo kebanyakan tulisan
See yaaa!!!!
*)males bikin catetan kakinya, abis kakinya rada rorombeheun (halah bahasa apapulak ini!!), tapi ini beberapa buku yang jadi referensi saya:
- Islam, politik dan spiritual : Hafidz Abdurrahman çdisini dibahas lebih jelasnya tentang pendapat2 kaum jabariyah, qodariyah, dan ahlussunnah terkait masalah takdir …
- Rule of life in Islam : Taqiyuddin an-Nabhani
- Islam, mulai akar ke daun
- ... mo nambahin lagi?